March 19, 2024

Metodologi Ijtihad & Istinbath Muhammadiyah

Berikut beberapa pokok metode ijtihad dan istinbath Muhammadiyah :

  1. Di dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-Qur`an dan al-Sunnah al-Shahîhah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung.
  2. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakuakan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad , digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat.
  3. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur`an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
  4. Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapa pun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
  5. Di dalam masalah aqidah (tawhîd), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
  6. Tidak menolak ijma’ sahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan.
  7. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudh, digunakan cara: al-jam’u wa al-tawfiq. Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih.
  8. Menggunakan asas “saddu al-dzara’i” untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
  9. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur`an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah. Adapun qaidah “al-Hukmu yadûru ma’a illatihi wujûdan wa ‘adaman” dalam hal-hal tertentu, dapat berlaku.
  10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
  11. Dalil-dalil umum al-Qur`an dapat di-takhsis dengan hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
  12. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip “al-taysir”.
  13. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur`an dan al-Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
  14. Dalam hal-hal yang termasuk al-Umûru al-Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemashlahatan umat.
  15. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.
  16. Dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang Aqidah. Dan ta’wil sahabat dalam hal itu, tidak harus diterima.