Ucapan Selamat Idul Adha 1441/2020
dari Ketua LSIK UMRI MIZAN ASNAWI, S.E., M.Ec.Dev
Ucapan Selamat Idul Adha 1441/2020
dari Ketua LSIK UMRI MIZAN ASNAWI, S.E., M.Ec.Dev
KH Mas Mansur dikenal sebagai ulama kharismatik. Dakwah yang disampaikannya begitu halus dan menyentuh. Ia telah memberi pengaruh yang begitu besar bagi masyarakat pada zamannya. Sebagai seorang ulama, kecintaannya terhadap agama dan bangsa sungguh luar biasa. Gelar pahlawan nasional pun ditabalkan kepadanya.
Mas Mansur terlahir di Surabaya pada 25 Juni 1896. Ayahnya bernama KH Mas Achmad Marzoeqi dan ibunya bernama Raudhah. Ibunya berasal dari keluarga kaya Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya adalah seorang ulama masyhur yang menjabat sebagai imam dan khatib Masjid Ampel Jawa Timur.
Guru pertama Mas Mansur adalah ayahnya sendiri. Masa kecil dihabiskannya dengan belajar agama bersama sang ayah. Ia juga mempelajari agama di Pesantren Sidoresmo kepada Kiai Muhammad Thata. Pada tahun 1906 Mas Mansur dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Madura untuk mempelajari Alquran dan kitab Alfiyah bin Malik. Selama dua tahun, ia berguru kepada Kiai Khalil.
Pada 1908, ia menunaikan ibadah haji dan mempelajari agama kepada Kiai Mahfudz di Makkah, Arab Saudi. Gejolak politik yang terjadi di Tanah Suci, pada waktu itu, memaksa Mas Mansur hijrah ke Mesir. Selama empat tahun, ia menimba ilmu di Makkah. Keputusannya untuk hijrah ke Mesir ditentang sang ayah. Kiai Mas Achmad menganggap Mesir bukanlah tempat yang tepat untuk belajar. Namun, tekad Mas Mansur sudah bulat. Ia tetap berangkat menuju Mesir untuk belajar, meskipun kedua orangtuanya sempat tidak memberinya dana untuk belajar. Di Negeri Piramida itu ia menuntut ilmu di Al-Azhar.
Ketika Perang Dunia I meletus pada 1913, ia kembali ke Tanah Air melalui Makkah. Sepulangnya dari Timur Tengah, ia bergabung ke dalam organisasi Serikat Islam (SI) yang pada saat itu dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto. SI terkenal sebagai organisasi yang revolusioner. Mas Mansur dan KH Ahmad Dahlan dipercaya menduduki jabatan penasihat pengurus besar. Selain bergabung dengan SI, ia juga membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran) bersama Abdul Wahab Hisboellah. Majelis ini merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya untuk mengadakan pengajian dan membahas permasalahan yang berkaitan dengan umat hingga ke masalah politik.
Majelis itu didirikan karena sikap masyarakat Surabaya yang kolot dan sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka anut. Aktivitas Taswir al-Afkar itu berhasil menginspirasi aktivis di berbagai kota untuk mendirikan hal yang serupa, seperti Nahdhah al-Wathan yang lebih memfokuskan kegiatannya pada pendidikan. Mas Mansur dan Abdul Wahab juga mendirikan sebuah madrasah Khitab al-Wathan, Ahl al-Wathan di Wonokromo, Far’u al-Wathan di Gresik, dan Hidayah al-Wathan di Jombang.
Selain sibuk di organisasi dan madrasah, ia juga senang menulis. Aktivis yang jurnalis itu biasa menuangkan pikiran-pikiran pembaharuannya lewat media massa. Ia menerbitkan majalah pertama kali bernama Soeara Santri. Kata ‘santri‘ pada masa itu sangat populer di masyarakat. Mas Mansoer juga menerbitkan Majalah Djinem yang terbit dua pekan sekali menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut menampung pemikiran dan gagasan-gagasannya. Ia mengajak kaum muda di Surabaya untuk mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu pula suami dari Siti Zakijah dan Halimah itu menyeru kaum Muslimin untuk meninggalkan kemaksiatan, kemusyrikan dan kekolotan.
Salah satu buku yang ia terbitkan berjudul “12 Tafsir Langkah Muhammadiyah“ yang berisi seputar intisari pelajaran yang sampaikannya setiap malam Selasa untuk pengurus Muhammadiyah. Salah satu yang penting di dalam bukunya adalah pendapatnya tentang hukum agama dapat berubah karena perubahan orang dan tempat. Menurut Mas Mansur, agama adalah hal yang ringan dan tidak mengikat paham. Agama bertujuan untuk membawa rahmat bagi seluruh umat. Mas Mansur juga berpendapat bahwa Islam seharusnya tanpa mazhab. Menurutnya Islam harus langsung dipahami dari sumbernya, Alquran dan Sunah. Ia berpendapat, nilai guna dari mazhab tidak lebih merupakan salah satu menuju apa yang dimaksud oleh Alquran dan sunah. Setiap pendapat dalam mazhab harus diteliti untuk ditarjihkan, agar diketahui argumen yang lebih kuat.
Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada Oktober 1937 dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta. Sebagai ketua, ia sangat menuntut kedisiplinan yang tinggi. Setiap kali mengadakan pertemuan ataupun sidang pengurus besar Muhammadiyah selalu dilaksanakan tepat waktu.
Di era kepemimpinannya, Mas Mansur banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik Islam. Ia tidak ragu membuat kesimpulan tentang hukum bank. Ia berpendapat bank adalah haram, tetapi diperkenankan apabila keadaan memaksa. Menurutnya secara hukum bunga bank adalah haram. Akan tetapi, ia melihat perekonomian umat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan ekonomi perbankan pada masa itu sudah menjadi sistem yang kuat di masyarakat. Kondisi itu dinilainya sebagai sebuah keterpaksaan untuk memperbaiki perekonomian umat.
Pada 1937, Mas Mansur terpilih sebagai bendahara Majelis Islam Ala Indonesia. Ketuanya bernama W Wandoamiseno. Ia bersama 22 tokoh Islam lainnya mendirikan Partai Islam Indonesia. Perjuangan politiknya pada masa kolonial ketika mengadakan pertemuan dengan pemerintah Jepang. Bersama Abdul Kahar Muzakkir ia meminta secara langsung kepada pemerintah Jepang untuk tidak ikut campur dalam urusan keagamaan.
Mas Mansur juga merupakan tokoh nasional yang dikenal sebagai empat serangkai, bersama Soerkarno, Muhammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Keterlibatannya dalam empat serangkai memaksanya melepas jabatan sebagai Ketua PB Muhammadiyah. Mas Mansur juga tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pada 1944, ia kembali ke Surabaya dan bersama pemuda terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dua tahun kemudian, dia ditangkap oleh NICA dan dipaksa berpidato untuk menghentikan perlawanan rakyat terhadap sekutu di Surabaya. Akan tetapi ia menolak, sehingga dimasukkan ke penjara. Ia wafat pada 25 April 1946 dalam penjara, karena kegigihannya membela bangsa dan negara. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Republik Indonesia mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH Fakhruddin.
Sang Nasionalis
Gagasan, pemikiran, dan kepribadian KH Ahmad Dahlan – pendiri Muhammadiyah – yang kerap berdakwah di kota Surabaya, Jawa Timur, mampu menarik perhatian Mas Mansur. Pada 1 November 1921, alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir itu bergabung dengan Muhammadiyah. Sebelumnya, Mas Mansur bergabung dengan Nahdlatul Watan.
Mas Mansur dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat nasionalisme. Hal itu dibuktikan dengan nama madrasah yang didirikannya, Hizbul Wathan (tentara tanah air). Rasa nasionalismenya tumbuh ketika menetap di Arab dan Mesir. Pada 1912, saat datang ke Mesir, di sana sedang terjadi kebangkitan nasional dan gerakan pembaruan yang dilakukan oleh putra-putra Mesir. Rasa nasionalismenya itu disalurkan dengan mendirikan beberapa organisasi dan majelis serta bergabung dalam organisasi di Indonesia, salah satunya adalah Muhammadiyah.
Setelah bergabung dengan Muhammadiyah, Mas Mansur langsung mendirikan cabang di kota Surabaya. Ia menjadi ketuanya. Di Muhammadiyah, ia mengemukakan banyak gagasan dan langkah untuk merealisasikan amal usaha organisasi tersebut. Ketika Muhammdiyah mendirikan pandu Hizbul Wathan (HW), ia mengganti nama madrasahnya menjadi Madrasah Mufidah. Pada 1922, Mas mansur juga mendirikan HW cabang Surabaya. Ia adalah pencetus atau penggagas lahirnya Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Mas Mansur terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada Oktober 1937. Di antara pemimpin lain yang pernah menjabat sebagai ketua, Mas Mansur menjadi ketua termuda yang pernah dimiliki Muhammadiyah. Ia diangkat ketika berumur 41 tahun. Jabatan ketua ini memaksanya pindah ke Yogyakarta dan melepaskan jabatan ketua cabang Surabaya.
Ia menjabat ketua PB Muhammadiyah selama dua periode, dari 1937 hingga 1942. Periode kepemimpinannya dikenal dengan sebutan “Periode KH Mas Mansur“. Pada 1938, ia melontarkan prinsip organisasi yang dikenal dengan nama “Langkah Muhammadiyah 1938-1940“ atau “Langkah Duabelas“. Dalam prinsip tersebut dibahas mengenai pendalaman masuknya iman, perluasan paham agama, menuntut amalan intiqad, penguatan persatuan, melakukan kebijaksanaan, memusyawarahkan keputusan, dan lain-lain.
Sebelum terpilih menjadi ketua, di Muhammadiyah sempat muncul rasa ketidakpuasan yang dirasakan Angkatan Muda Muhammadiyah terhadap kebijakan pengurus besar. Mereka menganggap para pengurus terlalu mengutamakan pendidikan dan hanya mengurusi persoalan sekolah Muhammadiyah, namun melupakan syiar Islam. Angkatan muda juga berpendapat PB Muhammadiyah hanya dikuasai tiga tokoh tua, yaitu Ketua Pengurus Besar KH Hisjam, Wakil Ketua KH Moechtar, dan Ketua Majelis Pertolongan Kesejahteraan Umum, KH Sjuja‘. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta, ketiga tokoh tersebut mendapat suara terbanyak. Kelompok muda semakin kecewa. Setelah dilakukan dialog, ketiga tokoh ini setuju mengundurkan diri. Setelah mereka mundur, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi ketua PB Muhammadiyah, namun ia menolak. Kyai Hadjid juga menolak. Maka Mas Mansur pun diusulkan menjadi ketua. Pada awalnya ia menolak, namun setelah melakukan dialog panjang, ia akhirnya setuju.
Pergeseran kepemimpinan itu menunjukkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang demokratis, karena mau merespons aspirasi angkatan muda. Selama Mas Mansur memimpin organisasi berlambang Matahari itu, banyak angkatan muda yang cerdas dan progresif terlibat dalam kepengurusan.
Politik dan agama rasanya menjadi dua hal yang tak bisa dilepaskan dari sosok KH Ahmad Badawi. Walau begitu, bukan berarti kiai yang satu ini merupakan tipe orang yang suka ‘menjual’ agama untuk meraih kedudukan politik. Sekali lagi, ia bukanlah sosok semacam itu! Hal inilah kiranya yang perlu diteladani oleh para politikus masa sekarang.
Kiai Badawi lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada 5 Februari 1902. Ia merupakan putra dari pasangan KH Muhammad Fakih dan Nyai Hj Sitti Habibah. Kedua orang tuanya adalah warga Muhammadiyah. Bahkan, Sitti Habibah merupakan adik kandung dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Seperti kebanyakan tokoh masa pra-kemerdekaan, ia juga turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Tercatat ia pernah menjadi Angkatan Perang Sabil (APS). Saat terjadinya agresi militer Belanda kedua, ia ditugaskan sebagai imam II APS untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bergabung di Batalyon Pati serta Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Setelah Indonesia merdeka, Badawi mengawali karier politiknya. Ia bergabung dengan Partai Masyumi. Pada 1950, namanya dikukuhkan sebagai wakil ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak memainkan peran penting karena partai ini kemudian dibubarkan.
Tak lagi berkecimpung dengan Masyumi, Kiai Badawi memfokuskan diri untuk mensyiarkan agama lewat Muhammadiyah. Ia sempat mengabdikan diri sebagai guru di madrasah milik Muhammadiyah. Namun, sikap istiqamahnya di bidang tabligh membuatnya diberi amanah sebagai ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Peran itu ia pegang pada 1933. Seiring waktu berjalan, amanah yang diberikan kepadanya terus bertambah.
Ikhtiarnya yang ikhlas membuat banyak pihak semakin menaruh hati kepadanya. Ia ditunjuk menjadi kepala Madrasah Za’imat yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada 1942. Di Madrasah Mualimat ini ia terobsesi memberdayakan potensi Muslimah untuk menjadi mubalighat yang andal.
Alhasil, puncak perjalanannya bersama Muhammadiyah ditandai dengan terpilihnya Kiai Badawi sebagai Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode. Periode pertama diamanahkan dari hasil Muktamar ke-36 Muhammadiyah di Jakarta. Ia diangkat sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1962-1965. Tiga tahun berikutnya, Kiai Badawi didaulat lagi sebagai ketua PP Muhammadiyah dari hasil muktamar di Bandung.
Memimpin Muhammadiyah pada masa itu bukanlah hal mudah. Di pengujung masa Orde Lama itu, posisi Muhammadiyah tersudut karena sejumlah kadernya cukup banyak yang menjadi pengurus Partai Masyumi. Partai ini merupakan partai yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Tersudutnya posisi Muhammadiyah juga tak lepas dari hasutan Partai Komunis Indonesia (PKI). Presiden Soekarno pun dihasut untuk menjauhkan diri dari Muhammadiyah. Meski Soekarno sendiri sudah mengenal Muhammadiyah, namun PKI tetap berupaya keras untuk menyematkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang anti-Pancasila, anti-Nasakom hingga ahli waris dari kelompok separatis DI/TII.
Masa-masa sulit itu mampu dilewati oleh Kiai Badawi secara perlahan dan tenang. Selama dua periode memimpin, ia memilih menempatkan Muhammadiyah untuk bisa bersikap dan berinteraksi terhadap persoalanpersoalan politik pada masa itu. Sikap ini perlu ditunjukkan karena kala itu anggota Muhammadiyah terus menggemuk jumlahnya. Tercatat pada 1962, anggota Muhammadiyah sebanyak 185.119 dengan jumlah anak ranting mencapai 2.300 serta 712 cabang. Anggotanya sendiri telah tersebar mulai dari Aceh hingga Papua (saat itu disebut Irian).
Penasihat Presiden
Sikap Kiai Badawi yang cukup apik itulah yang kemudian menarik perhatian Soekarno. Pada 1963, Soekarno meminta Kiai Badawi untuk menjadi penasihat pribadinya di bidang agama. Setelah melewati pertimbangan yang masak, permintaan itu disetujui oleh Kiai Badawi. Namun, ia tak sedikit pun memanfaatkan posisi itu untuk mengejar ambisi pribadi.
Sebaliknya, ia mampu menjadi penyeimbang bagi masukan-masukan yang diterima Soekarno. Seperti ditulis di laman resmi Muhammadiyah, Kiai Badawi berhasil mengendalikan Soekarno untuk tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang terus menggerogotinya. Secara rutin, Kiai Badawi memberikan siraman rohani kepada sang presiden. Nasihat dan pandangan agama diberikan seakan tak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi selalu memberikan nasihatnya kepada Bung Karno. Dalam memberikan nasihat, Kiai Badawi bukanlah tipe orang yang gemar memberi masukan atau laporan ABS (Asal Bapak Senang). Artinya, ia tetap menyampaikan nasihat secara substansi dan kritis. Tak heran jika Soekarno selalu menyimak setiap masukan sang kiai. Bahkan, Soekarno pun sering meminta para menterinya untuk memperhatikan nasihat-nasihat agama dari Kiai Badawi.
Selepas masa Orde Lama, peran sebagai penasihat masih tetap dijalankan Kiai Badawi. Presiden Soeharto, pemimpin Orde Baru, rupanya ingin pula menjadikan Kiai Badawi sebagai penasihat, seperti halnya yang dilakukan kiai Muhammadiyah itu terhadap pendahulunya, Soekarno. Permintaan itu diterima. Hanya saja, ia tak bisa menjalankan peran itu secara optimal. Usia Kiai Badawi yang telah merangkak 66 tahun membuat kondisi fisiknya melemah akibat serangan penyakit.
Kiai Badawi wafat pada Jumat, 25 April 1969, pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Saat itu, ia masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung yang dipegangnya dari tahun 1968. Sedangkan di Muhammadiyah, ia masih tercatat sebagai penasihat PP Muhammadiyah periode 1969- 1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.
Hasil Didikan Pesantren
Rasanya tak banyak pimpinan Muhammadiyah yang mengeyam pendidikan dari dunia pesantren. Dari yang sedikit itu, menyeliplah nama KH Ahmad Badawi. Pria yang pernah memimpin Muhammadiyah selama dua periode pada 1962- 1965 dan 1965-1968 ini merupakan sosok yang pernah menimba ilmu agama dengan berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.
Perjalanan hidupnya sebagai santri diawali ketika usianya baru menginjak enam tahun. Selepas mengenyam ilmu agama dari sang ayah, pria kelahiran 5 Februari 1902 ini berkelana ke Pondok Pesantren Lerab, Karanganyar. Di tempat ini ia mendalami ilmu nahwu dan sharaf. Di sini, Badawi belajar sampai tahun 1913. Petualangannya menimba ilmu di pesantren tak berhenti sampai di situ. Ia kemudian belajar kepada KH Dimyati di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan. Pada saat ini, usianya telah menanjak 11 tahun. Di Pacitan, ia hanya nyantri selama dua tahun. Pada 1915, ketika Badawi berusia remaja, ia ‘mondok’ di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruan. Hampir lima tahun ia mendalami ilmu agama di tempat ini. Dari situ, ia pun berlabuh di Pesantren Pandean, Semarang. Namun, sebelumnya ia sempat nyantri secara singkat di Pesantren Kauman.
Selain belajar di pesantren, Badawi muda juga sempat menempuh pendidikan formal yakni di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta. Nah, jika dihitung sejak awal nyantri pada usia enam tahun, Badawi secara total menghabiskan waktu selama 19 tahun untuk menjadi santri di berbagai pesantren. Tentu saja, ini bekal sangat berharga untuk mematangkan kepribadian dan meluaskan wawasan keagamaan Kiai Badawi.
Di tengah kesibukannya berorganisasi di Muhammadiyah serta menjadi penasihat presiden, KH Ahmad Badawi tak pernah lupa untuk menuangkan ilmu dan pandangannya dalam bentuk tulisan. Selain menguasai berbagai ilmu keagaman seperti hadis dan fikih, Kiai Badawi juga dikenal luas sebagai ahli ilmu falak. Khusus dalam bidang ilmu falak, Kiai Badawi menulis sejumlah buku yang ditulis rapi dengan tangan, baik dalam huruf Arab maupun Latin. Buku-buku tersebut, antara lain “Djadwal Waktu Sholat Se-lama2nja”, “Tjara Menghitoeng Hisab Haqiqi Tahoen 1361 H”, “Hisab Haqiqi”, dan “Gerhana Bulan”.
(Diambil dari republika.co.id)
Daftar Isi
Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi
Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan.
Adapun yang berkaitan dengan al ‘adalah sebagai berikut:
1. Dusta / berbohong
2. Tertuduh berbohong
3. Fasik
4. Bid’ah
5. Jahalah (tidak diketahui)
Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut:
1. Kesalahan yang parah
2. Buruk hafalan
3. Lalai
4. Banyak terjadi kerancauan hafalan
5. Menyelisihi orang-orang yang tsiqah
Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk mengurutkannya satu persatu.
· AL MAUDHU’
(Hadits maudhu’/palsu)
Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi.
Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya sebagai larangan darinya.
Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut:
1. Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’.
2. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll.
3. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi setelah nabi Muhammad.
Golongan pembuat hadits palsu
Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah:
1. Ishaq bin Najiih al Malathi.
2. Ma’mun bin Ahmad al Harawi.
3. Muhammad bin as Saaib al Kalbii.
4. Al Mughirah bin Said al Kufi
5. Muqathil bin Abi Sulaiman.
6. Al Waqidi
7. Ibnu Abi Yahya.
Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya:
1. Az-Zanadiqah (kaum zindik) ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin, memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’.
Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak.
Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh:
Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram.
Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah sebanyak 14.000 hadits.
2. Al-Mutazallif (pencari muka/penjilat) dihadapan para penguasa dan umara seperti: Ghiyats bin Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda:
“Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau telapak kaki kuda atau sayap (burung dara)”
lalu al Mahdi berkata: Aku telah membebani dia atas itu (membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent). Kemudian dia (al Mahdi) menaruh burung dara tersebut dan menyuruh menyembelihnya.
3. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan (jah): seperti para pencerita (hikayat) yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh.
4. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap dunia. Seperti: Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata: aku melihat manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak oleh karena itu aku buat hadits palsu itu (keutamaan hadits palsu).
5. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti (imam) atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib.
· Al Matruk : Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta.
· Al Munkar : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if dan riwayatnya bertentangan de-ngan riwayat para rawi yang tsiqah.
Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if.
· Al Mu’allal : Hadits yang ditemukan ‘illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat.
· Al Mudraj : Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan (sisipan) pada matan atau sanad hadits, yang bukan darinya.
· Al Maqlub : mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya, dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya.
· Al Mudhtharib : Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan lainnya.
Mudhtharib (goncang).
· Asy Syadz : Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-nya. Lawan dari syadz adalah rajih (yang lebih kuat) dan sering diistilahkan dengan mahfuzh (terjaga).
· Jahalah bi arruwwah : Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi.
Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu
Majhul al-‘Adalah : Tidak diketahui kredibelitasnya.
Majhul al-‘Ain : Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki hadits kecuali dari seorang perawi.
Majhul al-Hal : Tidak diketahui jati dirinya.
· Bid’ah : mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan menjadi dua golongan;
ii. Bid’ah yang membuat kafir
iii. Bid’ah yang membuat fasik
· Buruk hafalan : sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Istilah-istilah dalam jarhu wa ta’dil
Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.
At Ta’dil : Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri se-orang rawi hadits.
Al Jarhu : Celaan yang dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan) bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.
Tsiqah : Kredibel, di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt (hafalan yang bagus).
Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang masuk dalam kategori tsiqah.
Jayyid : Baik
Layyin : Lemah.
Majhul : Rawi yang tidak diriwayatkan darinya kecua-li oleh seorang saja.
Mubham : Rawi yang tidak diketahui nama (identitas)nya.
Mudallis : Rawi yangi melakukan tadlis.
Rawi Mastur : Sama dengan Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
Perawi Matruk : Perawi yang dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi yang terkenal tsiqah.
Rawi Mudhtharib : Rawi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
Rawi Mukhtalith : Rawi yang akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan ucapannya menjadi tidak teratur.
Rawi yang tidak dijadikan sebagai hujjah : Rawi yang haditsnya diriwayatkan dan ditulis tapi haditsnya tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil dan hujjah.
Saqith : Tidak berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
Tadh’if : Pernyataan bahwa hadits atau rawi bersang-kutan dha’if (lemah).
Tahqiq : Penelitian ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang paling tepat.
Tahsin : Pernyataan bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
Ta’liq : Komentar, atau penjelasan terhadap suatu poto-ngan kalimat, atau derajat hadits dan sebagai-nya yang biasanya berbentuk cacatan kaki.
Takhrij : Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum atasnya; shahih atau dhaif.
Syahid : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.
Syawahid : Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid.
Haditsnya layak dalam kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat dengannya.
Mutaba’ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang sahabat yang sama.
Daftar Isi
Pembagian hadits dilihat dari sisi kuat dan lemahnya hadits
Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Maqbul : sebuah hadits yang mempunyai indikasi kuat kejujuran orang yang membawa khabar tesebut
2. Mardud (tertolak) : sebuah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut.
Secara garis besar hadits maqbul terbagi menjadi dua, yaitu shahih dan hasan, dan masing-masing kelompok ini terbagi lagi menjadi dua kelompok hadits, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi serta hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Hadits Shahih : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan memiliki hafalan yang kuat dari rawi yang semisalnya sampai akhir
sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula memiliki illat.
Sanadnya bersambung adalah: bahwa setiap perawi mengambil hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, kondisi seperti ini dari permulaan sanad sampai akhirnya.
Perawi yang adil adalah : bahwa semua perawinya mempuyai sifat ‘al ‘adalah,’ tidak fasik dan tidak mempunyai karakter yang tidak beretika.
Al ‘adalah adalah: Potensi (baik) yang dapat membawa pemilik-nya kepada takwa, dan (menyebabkannya mampu) menghindari hal-hal tercela dan se-gala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik.
Memiliki hafalan yang kuat adalah; bahwa setiap perawi mempunyai hafalan yang kuat, baik hafalan yang ada di dalam dada maupun hafalan yang menggunakan bantuan buku.
Tidak syadz artinya : bahwasanya hadits tersebut tidak syadz (nyeleneh/menyelisihi yang lebih kuat).
Tidak memiliki ‘illat artinya : hadits tersebut tidak cacat. Dan ‘Illat adalah Sebab yang samar yang terdapat di dalam hadits yang dapat merusak keshahihannya.
Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
Sedangkan hadits yang tertolak adalah hadits yang tidak jelas kejujuran orang yang membawa khabar tersebut. Itu bisa terjadi karena ketiadaan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat sebuah hadits.
Sebab-sebab tertolaknya hadits itu ada banyak, tetapi secara garis besar bisa di klasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Gugur dari sanad
2. Terindikasi cacat atau tertuduh pada seorang perawi.
Secara keumumam semua itu disebut dengan hadits dla’if.
Hadits Dha’if : Hadits yang tidak memenuhi syarat hadits maqbul (yang diterima dan dapat dijadikan hujjah), dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dla’if. Adapun pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama adalah bahwasanya dianjurkan mengamalkannya dalam hal fadlailul a’mal, akan tetapi harus memenuhi tiga syarat sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Hajar :
1. Dla’ifnya tidak parah
2. Menginduk di bawah ushul yang dapat dijadikan sebagai landasan amal
3. Ketika mengamalkannya tidak meyakini keotentikan hadits tersebut.
Hadits yang tertolak karena sebab gugur dari sanadnya
Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi.
Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut:
· Mu’allaq : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah : semua sanad dibuang kemudian dikatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
· Mursal : (Hadits) yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …” atau “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ini dan itu …”.
· Mu’dlal : Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I’dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan.
· Mungqati’ : Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan.
· Mudallas :
Tadlis : Menyembunyikan cela (cacat) yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zahir.
Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha’if, yang menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut pernah bertemu (karena sempat hidup semasa), kemudian rawi (yang melakukan tadlis disebut mudallis) membuang atau menggugurkan rawi yang dha’if tersebut, dan menjadikan sanad hadits tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling buruk.
· Mu’an’an : perkataan seorang perawi : “fulan dari fulan”
‘An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh عن (dari) yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis.
· Mu`annan : perkataan seorang perawi : “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata, “
Daftar Isi
Beberapa definisi dalam ilmu mushthalah hadits
Mushthalahul Hadits adalah :
ilmu tentang dasar dan kaidah untuk mengetahui keadaan seorang perawi dan yang diriwayatkannya dari segi diterima dan ditolaknya.
Objeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya.
Faidahnya
Membedakan antara hadits-hadits yang shahih dengan hadits-hadits yang sakit (cacat).
Al Hadits ialah
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat
Al Khabar ialah
Pengertiannya sama dengan Al Hadits, dengan demikian ia didefinisikan sama seperti al Hadits. ada juga yang berpendapat Al Khabar sebagai berikut :
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang selainnya. Dengan demikian pengertiannya lebih umum dan luas.
Al Atsar, ialah
Suatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat).
Terkadang Al Atsar dimaksudkan dengan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits) apabila dalam satu kalimat ia disertakan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti perkataan : Dan dalam Atsar dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Nabi).
Hadits Qudsi ialah:
Hadits yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabbnya (Allah Subhaanahu wa Ta’ala).
Hadits Qudsi dinamakan juga Hadits Rabbani dan Hadits Ilaahi
Kedudukan Hadits Qudsi diantara Al Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah sama karena Al Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya. Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lafadz dan ma’nanya dan Al Hadits Al Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah didalam membaca lafadznya dan tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir (keseluruhannya) sebagaimana penukilan Al Qur’an, akan tetapi sebagiannya ada yang shahih, dhaif, dan maudhu.
Sanad adalah : suatu jalan yang menyampaikan kepada matan atau suatu perantara yang menyampaikan kepada rawi Hadist.
Matan adalah : Suatu yang akan menyampaikan kepada sanad dari ucapan atau disebut juga redaksi hadist atau isi hadist
Al-Musnad : secara bahasa berarti yang disandarkan kepadanya. Sedangkan Al-Musnad menurut istilah ilmu hadits mempunyai beberapa arti :
Al-Musnid : orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia mempunyai pengetahuan terhadap hadits atau hanya sekedar meriwayatkan saja.
Al-Muhaddits adalah orang yang berkecimpung dengan ilmu hadits baik secara periwayatan maupun dirayah, menelaah berbagai riwayat serta keadaan para perawinya.
Al-Hafidh Menurut kebanyakan ahli hadits sepadan dengan Al-Muhaddits. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Al-Hafidh derajatnya lebih tinggi dari Al-Muhaddits karena yang dia ketahui pada setiap thabaqah (tingkatan/kedudukan) lebih banyak daripada yang tidak dia ketahui.
Al Hujjah : Orang yang hapal tiga ratus ribu hadist beserta sanadnya.
Al-Hakim menurut sebagian ulama adalah orang yang menguasai semua hadits kecuali sebagian kecil yang tidak dia ketahui.
Ashhab As-Sunan : Para ulama penyusun kitab-kitab “Sunan” yaitu: Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah.
Pembagian Hadits Menurut Jalan Periwayatannya yang sampai kepada kita
Pertama: Hadits Mutawatir
Al Mutawatir ialah:
Hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang yang mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat dan mereka menyandarkannya kepada sesuatu yang nyata.
Pembagian
Al Mutawatir terbagi dua:
1. Mutawatir lafadz dan makna.
2. Mutawatir makna
Mutawatir lafadz dan makna ialah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi yang sama, baik lafadz atau maknanya.
Mutawatir makna ialah hadits yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang sama secara makna saja dan tiap-tiap hadits mempunyai makna khusus.
Faidah
Faidah hadits mutawatir terbagi dua yaitu:
1. Ilmu artinya sudah dipastikan benar penasabannya kepada orang yang menukil darinya.
2. ‘Amal artinya mengamalkan dari apa-apa yang terdapat didalamnya dengan membenarkan apabila ia berbentuk khabar (berita) dan merealisasikan apabila ia berbentuk tuntunan.
Kedua: Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah lawan dari hadits mutawatir. Yaitu hadits yang sanadnya tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits Ahad terbagi 3 menurut jalan periwayatannya:
1. Hadits Masyhur : Hadits yang memiliki jalan-jalan periwayatan yang terbatas, lebih dari dua jalan, dan tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz : hadits yang diriwayatkan hanya oleh dua orang perawi saja.
3. Hadits Gharib : Hadits yang diriwayatkan sendirian oleh se-orang rawi dalam salah satu periode rangkaian sanadnya.
Pembagian khabar ditinjau kepada orang yang disandarkan
Khabar (hadits)terbagi 3 bila ditinjau kepada orang yang disandarkan :
Marfu ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terbagi menjadi 2: Marfu sharih dan Marfu hukum.
Marfu sharih ialah: Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung baik perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat atau khuluqnya penciptaannya (akhlaknya).
Contoh perkataan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang berbuat amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka ia tertolak”.
Contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa apabila masuk rumahnya ia mulai dengan bersiwak (gosok gigi)”.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Taqrir beliau terhadap jawaban seorang budak perempuan ketika beliau bertanya dimana Allah? dia menjawab: Di langit. Lalu Rasulallah mentaqrirkan terhadap yang demikian. Dan yang termasuk ini juga seluruh perkataan atau perbuatan sahabat yang Rasulallah ketahui tapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam terhadapnya (tidak mengingkari) maka hukumnya marfu sharih dan termasuk taqrir.
Contoh sifat akhlaknya.
Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling dermawan diantara manusia dan yang paling berani diantara manusia. Apa-apa yang beliau diminta beliau tidak pernah katakan jangan/tidak boleh dan beliau selalu berseri-seri, lembut perawakannya luwes dalam perkara jika ada dua pilihan melainkan beliau memiliki yang paling mudah kecuali kalau dosa maka beliaulah orang yang paling menjauhinya dibandingyang lain.
Contoh sifat dirinya:
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang tidak tinggi dan tidak pendek (sedang) rambutnya sepundak, lebat menutupi dua telinganya, janggutnya rapih dan sedikit beruban.
Marfu hukum ialah: Sesuatu yang dihukumi marfu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantaranya adalah:
“Kami pernah menyembelih seekor kuda pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah lalu kami memakannya”.
“Termasuk sunnah tasyahhud dipelankan, maksudnya dalam shalat” .
Jika tabi’in yang berkata maka bisa marfu’ bisa mauquf, seperti perkataan Ubaidillah bin Abdullah bin Atabah bin Mas’ud.
“Yang sunnah,Imam berkhutbah pada hari ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha dua kali yang ia selingi dengan duduk”.
Mauquf ialah : Hadits yang disandarkan kepada shahabat tetapi tidak ditetapkan baginya hukum marfu’.
Seperti perkatan Umar bin khatthab:
Islam hancur karena tergelincirnya seorang yang alim, jidalnya orang munafik dengan Al-Quran dan hukum para imam-imam yang sesat.
Maqthu’ ialah: Perkataan yang disandarkan kepada tabi’in dan orang yang setelahnya (tabiut tabiin).
Seperti perkataan Ibnu Sirin:
Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama, maka lihatlah darimana kamu mengambil dien (sanad) mu ini.
Dan perkataan Malik:
Tinggalkanlah amalan-amalan yang tidak nampak selama tidak baik untukmu agar engkau kerjakan secara nampak.